PerbuatanMelawan Hukum (PMH) sebagai landasan hukum menyangkut perbuatan melawan hukum adalah Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi: "Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut". Pertimbangan para hakim dalam kasus Beritacontoh surat gugatan perdata perbuatan melawan hukum kasus tanah terbaru hari ini. Lihat informasi seputar contoh surat gugatan perdata perbuatan melawan hukum kasus tanah terupdate yang telah kami kurasi untuk anda Tidakdapat dipungkiri bahwa dewasa ini terdapat banyak sekali kasus mengenai perbuatan-perbuatan pemerintah yang secara subtansial dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum. namun, karena didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, perbuatan ini tidak dipandang sebagai perbuatan melawan hukum Gugatanperdata yang biasa dilayangkan kepada pejabat lelang adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Berdasarkan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berbunyi, "Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk hukumyang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder atau dinamakan penelitian hukum kepustakaan. 4. Dalam penelitian ini digunakan . pendekatan aspek-aspek hukum, asas dan kaidah hukum mengenai perkara perbuatan melawan hukum dalam perjanjian kerja sama penyertaan modal dan perjanjian kredit. GambarSituasi Tanggal 11 Maret 1978 No. 290/Sem/1978 Tanggal 11 Mei 1978, dari perbuatan melawan hukum (perbuatan melanggar hukum) yang dilakukan oleh pihak - pihak tertentu secara sengaja, kolektif atas dasar permufakatan jahat, konstruktif, dan sistematis, maka atas permintaan Penggugat selanjutnya KANTOR PERTANAHAN KOTA ADMINISTRASI . Abstract Perbuatan melawan hukum dapat diartikan sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Kajian penelitian mengenai Perbuatan Melawan Hukum dalam Tindakan Medis serta penyelesaiannya ini bersifat juridis normatif yang pembahasannya didasarkan pada Perundang undangan dan prinsip hukum yang penelitian dapat disimpulkan bahwa Perumusan perbuatan melawan hukum tersebut sudah pasti tidak dapat dicari dalam Pasal 1365 KUH Perdata tersebut. Sekiranya Pasal 1365 KUH Perdata sudah mencakup Perumusan perbuatan melawan hukum, maka sudah ada Perumusan sempit dan Perumusan luas itu karena perkembangan penafsiran luas perbuatan melawan perbuatan melanggar hukum apabila dari perbuatannya itu menimbulkan kerugian pada orang lain dan dalam melakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur harus ada perbuatan melawan hukum, harus ada kesalahan, harus ada hubungan sebab dan akibat antara perbuatan dan kerugian dan harus ada kerugian. Jakarta Pengadilan Negeri Makassar akhirnya memutuskan gugatan sengketa hukum antara Ardiyono Pattasila selaku penggugat melawan Gubernur Sulsel selaku tergugat dan Inspektorat Sulsel selaku tergugat 1, Selasa 23 Mei 2023. Dalam putusannya, Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Makassar yang diketuai oleh Haryanto, menyatakan mengabulkan gugatan Ardiyono Pattasila untuk sebagian, menyatakan Gubernur Sulsel telah melakukan perbuatan melawan hukum Onrechtmatigee daad serta menyatakan bukti surat Nomor 880/07/XI/BKD/2020, tanggal 4 November 2020 yang isinya bertuliskan pada kalimat 'benar' saudara Ardiyono Pattasila, melakukan perbuatan penipuan untuk jaminan kelulusan pada penerimaan CPNS Kementerian Hukum dan HAM formasi tahun 2019 dan Penerimaan Praja IPDN untuk masa penerimaan tahun 2018-2019 adalah tidak berkekuatan hukum mengikat. Tak sampai di situ, Majelis Hakim dalam putusannya juga turut menghukum Gubernur Sulsel untuk memulihkan nama baik dan mengembalikan kedudukan status sosial Ardiyono Pattasila seperti sedia kala, serta mengumumkan kepada khalayak ramai di koran harian/media online baik nasional maupun daerah selama 14 hari secara berturut-turut bahwa Ardiyono Pattasila tidak pernah bersalah melakukan perbuatan penipuan untuk jaminan kelulusan pada penerimaan CPNS Kementerian Hukum dan HAM formasi tahun 2019 dan penerimaan Praja IPDN untuk masa penerimaan tahun 2018-2019 agar diketahui oleh khalayak ramai. "Selanjutnya menghukum tergugat untuk membayar uang paksa Dwangsom of astriante sebesar setiap hari apabila terlambat melaksanakan putusan dalam perkara perdata ini terhitung sejak perkara ini didaftarkan pada kepaniteraan perdata Pengadilan Negeri Makassar," ucap Ketua Majelis Hakim, Haryanto dalam putusannya. "Menghukum tergugat dan para turut tergugat untuk tunduk dan taat/patuh pada putusan dalam perkara perdata ini dan menghukum tergugat dan para turut tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar lanjut Ketua Majelis Hakim, Haryanto membacakan Hukum UKIP Makassar, Jermias Rarsina SH. MH Eka HakimMenanggapi putusan Majelis Hakim tersebut, Jermias Rarsina selaku Ketua Tim Kuasa Hukum Ardiyono Pattasila mengaku sangat merasa puas atas putusan Majelis Hakim dalam perkara perdata yang dimohonkan kliennya tersebut tepatnya Perkara Perdata Nomor 421/ Selasa 23 Mei 2023. Ia menilai Majelis Hakim yang mengadili perkara perdata tersebut sangat teliti dalam memberi pertimbangan dan penilaian hukum terhadap dalil gugatan kliennya selaku penggugat. "Patut diacungkan jempol terhadap kualitas intelektual Majelis Hakim dalam membedah kasus posisi hukum dari gugatan klien kami Ardiyono Pattasila, sehingga berani menjatuhkan putusan memenangkan klien kami dalam menghadapi Gubernur Sulawesi Selatan sebagai tergugat dkk," ucap Jermias dikonfirmasi via telepon, Senin 5/6/2023. Ia menjelaskan, dalil gugatan yang diajukan Tim Kuasa Hukum yang tergabung dalam Kantor Hukum Jermias Rarsina, dan Partners untuk memperjuangkan hak perdata Ardiyono Pattasila adalah berkaitan dengan adanya perbuatan melawan hukum Onrecht matigeedaad dalam hubungannya dengan surat/akta yang dikeluarkan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Tergugat Nomor 880/07/XI/BKD/2020, tanggal 4 November 2020 yang isi surat akta tersebut pada konsideran menimbang pada huruf a berbunyi Benar Ardiyono Pattasila, melakukan perbuatan penipuan untuk menjamin kelulusan pada penerimaan CPNS Kementerian Hukum dan HAM formasi tahun 2019 dan Penerimaan Praja IPDN untuk masa penerimaan tahun 2018-2019. Berangkat dari peristiwa hukum tersebut, kata Jermias, gugatan Tim Kuasa Hukum Ardiyono Penggugat tentang perbuatan melawan hukum Onrecht Matigedaad yang mendudukkan dalil hukum mengenai perbuatan Gubernur Sulsel dalam suratnya tersebut yang menyatakan Ardiyono Pattasila bersalah melakukan tindak pidana penipuan adalah sudah tepat memenuhi unsur perbuatan melawan hukum PMH. "Dan alasan hukum dari pertimbangan Majelis Hakim bersesuaian dengan dalil gugatan penggugat, di mana wewenang untuk menyatakan menghukum bersalah dalam tindak pidana berada pada lembaga yudikatif bukan pada lembaga eksekutif," terang Jermias. Hal tersebut, kata Jermias, harus memenuhi prosedur menurut KUHAP Hukum Acara Pidana, dalam hal ini wajib meliputi tindakan hukum penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga putusan pengadilan oleh Hakim pidana yang menyatakan bersalahnya seseorang, barulah dapat dianggap bersalah melakukan suatu tindak pidana. Itu pun putusan bersalah tersebut harus berkekuatan hukum tetap Inkracht Van gewisdje zaak. "Di situlah inti dari pertimbangan hukum Majelis Hakim yang mengadili perkara perdata klien kami tersebut, sehingga dihubungkan dengan semua alat bukti dari pihak kami selaku penggugat dan beberapa alat bukti dari tergugat, terbukti bahwa tidak ada satupun fakta hukum di persidangan klien kami Ardiyono Pattasila selaku penggugat dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penipuan berdasarkan putusan Hakim pidana di muka persidangan," jelas Jermias. Jermias berharap dengan adanya perkara yang dialami kliennya, Ardiyono Pattasila dapat memberi pembelajaran kepada orang hukum bahwa tidak semua kasus hukum berupa surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Administrasi Negara wajib digugat pada Peradilan Tata Usaha Negara PTUN, namun harus dilihat dari konteks kasuistisnya. "Bila ada perbuatan melawan hukum PMH secara hak perdata, tidak ada salahnya digugat pada peradilan umum, namun haruslah dikaji secara cermat atau teliti konstruksi hukumnya untuk dilakukan pengajuan gugatan PMH agar dapat dikabulkan," Jermias menandaskan.* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. Peran hakim sangat dominan. Konsep perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata mengikuti perkembangan yurisprudensi yang dibentuk Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Rosa Agustina dalam bukunya berjudul Perbuatan Melawan Hukum menyimpulkan konsep perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad dalam Pasal 1365 KUH Perdata sebagai rumusan yang sangat terbuka dikembangkan. “Perumusan yang demikian akan memberikan keleluasaan pada hakim untuk menemukan hukum. Perumusan Pasal 1365 KUH Perdata yang lebih merupakan stuktur daripada substansi dapat merupakan stimulus secara legal untuk terjadinya penemuan hukum secara terus menerus,” tulis Rosa dalam kesimpulan penelitian disertasinya itu 2003242-243.Perlu diingat, perbuatan melawan hukum berlaku pada hubungan perikatan yang terjadi atas dasar undang-undang. Dasar gugatan ini tidak berlaku apabila terdapat kontrak/perjanjian yang mengikat para pihak terkait objek gugatan. Sengketa dalam perikatan atas dasar kontrak/perjanjian hanya bisa menggunakan gugatan wanprestasi. Mengenai perbuatan melawan hukum, Rosa mencatat unsur-unsur pembuktiannya secara kumulatif berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata sebagai berikut perbuatan itu harus melawan hukum; ada kesalahan dari pelaku; ada kerugian; dan ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian 2003117.Rosa juga mengingatkan konsep perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad dalam KUH Perdata Indonesia tidak dapat lagi disamakan dengan perbuatan melanggar undang-undang onwetmatige daad dalam doktrin hukum pidana. Putusan Hoge Raad pada 31 Januari 1919 untuk perkara Cohen v. Lindenbaum menyingkirkan ajaran legisme dari konsep perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH konsep perbuatan melawan hukum akan terus berkembang lewat putusan dan yurisprudensi yang dibentuk pengadilan. Pembuktian unsur melawan hukum’ tidak hanya mengacu norma yang sudah tertulis dalam undang-undang. Kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang diasumsikan harus dimiliki seseorang dalam pergaulan bermasyarakat juga bisa menjadi acuan hakim dalam menilai suatu perbuatan telah melawan hukum’ 2003240. Hakim yang akan berperan penting menambah daftar acuan atas unsur melawan hukum’ yang dipertimbangkan pengadilan. Au Québec, de grandes différences existent entre un procès civil et un procès criminel. Il est parfois difficile de discerner toutes les particularités de chacune des poursuites. Découvrez les principales différences que comportent ces deux types d’instances juridiques. L’objet de la poursuite une différence qui influe sur la nature d’un procès L’objet de la poursuite constitue l’une des premières différences notables lors d’un procès civil ou criminel. Selon si la plainte concerne un conflit civil problèmes d’héritages, divorces, etc. ou une affaire criminelle voies de fait, meurtre, agression sexuelle, etc., la nature du procès sera différente. Procès au civil Dans le cadre d’une procédure au civil, c’est la responsabilité civile de l’accusé qui fait l’objet de la poursuite. Le procès se déroule alors devant la chambre civile de la Cour du Québec et c’est au juge que revient la responsabilité d’annoncer un verdict en fonction des analyses faites autour des circonstances du conflit. Si le juge donne gain de cause à la victime, la personne ou entreprise responsable du litige sera tenue de la dédommager pour le préjudice causé. Procès au criminel Dans le cadre d’une poursuite au criminel, c’est le crime commis par l’accusé qui est l’objet de la poursuite et le poursuivant ne sera nul autre que le gouvernement. Celui-ci est représenté par le ou la procureure aux poursuites criminelles et pénales durant toute la durée du processus judiciaire. Dans ce cas-ci, le procès se déroule devant la Chambre criminelle et pénale de la Cour du Québec. Si le verdict final donne raison à la partie plaignantes, après que toutes les preuves aient été analysées par le juge, les peines encourues par le ou les accusés peuvent être bien plus lourdes que dans le cadre d’un procès civil. Le délai de prescription la loi n’est pas la même au civil et au criminel Il est entendu par délai de prescription, la durée au-delà de laquelle une action en justice civile ou criminelle n’est plus recevable. Pour ce qui est du procès civil, les délais de prescription varient selon la raison de la poursuite. Cependant, un délai de 10 ans est prévu par la loi lorsqu’un préjudice physique est causé et que cet acte s’apparente à une infraction criminelle. Dans les cas d’agression sexuelle et de violence conjugale, le délai de prescription est de 30 ans. Concernant le procès criminel, il n’existe pas de délai de prescription. Il est donc possible d’accuser une personne d’avoir commis un crime dans le but de la poursuivre, sans limites de temps. En revanche, pour les crimes punissables sur déclaration de culpabilité par procédure sommaire », le délai est de 6 mois. Le fardeau de la preuve une preuve exigée moins élevée au civil qu’au criminel Le fardeau de la preuve fait également partie des éléments qui diffèrent entre les poursuites au civil ou au criminel. Dans le premier cas, l’issu de la poursuite penchera pour la personne qui semble la plus convaincante. Il est donc question de prépondérance des probabilités » appelée aussi prépondérance des preuves ». En d’autres termes, la personne qui subit un dommage doit prouver qu’il y a plus de chance que sa version des faits soit vraie que la version de l’autre parti. En revanche, une personne soupçonnée d’avoir commis une infraction au Code Criminel est toujours considérée comme innocente, tant que le contraire n’a pas été établi. C’est pourquoi le parti qui poursuit l’accusé, lors d’un procès criminel, doit réussir à prouver, hors de tout doute raisonnable », que l’accusé est coupable. Si tel est le cas, plusieurs peines peuvent être appliquées, telles que l’emprisonnement ou la détention à domicile, l’exécution des travaux communautaires, le paiement d’une amende, le respect d’une probation ou un couvre-feu. Faites confiance à un avocat pour reconnaître les différences entre un procès civil ou criminel Vous l’aurez compris, au Québec, ces deux types de procès n’ont pas la même portée juridique ni les mêmes conséquences pour l’accusé. Si vous êtes poursuivi, que ce soit dans le domaine du civil ou du criminel, il est important de faire appel à un avocat pour assurer votre défense. Lors d’un procès, l’avocat saura faire valoir vos droits et mettre en avant les lois en rapport avec votre situation. N’hésitez pas à contacter le cabinet d’avocats Droit Criminel. Nos avocats sauront vous représenter efficacement et ils seront à votre écoute tout au long du processus judiciaire. Ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang undang Hukum Perdata KUHPerdata. Menurut KUHPerdata, suatu perjanjian terjadi ketika telah adanya kata sepakat consensus dari kedua pihak dan kesepakatan itu mengikat pihak yang membuatnya layaknya undang-undang. Akan tetapi, adakalanya pelaksanaan perjanjian tidak berjalan sesuai yang dikehendaki kedua belah pihak dimana salah satu pihak tidak menjalankan perjanjian dengan sempurna. Dalam hukum perikatan hal ini dikenal dengan istilah cidera janji atau wanprestasi. Layaknya sebuah perjanjian, ketentuan mengenai Perbuatan Melawan Hukum juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perbuatan yang melawan hukum adalah perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dan mewajibkan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut untuk mengganti kerugian. Pengertian ini secara jelas menyebutkan akibat dari adanya perbuatan melawan hukum tersebut adalah mewajibkan orang yang berbuat untuk mengganti kerugian tersebut. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Analisis Terhadap Kasus Gugatan Wanprestasi Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020 dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 Ditujukan untuk memenuhi ujian tengah semester mata kuliah Hukum Perikatan DOSEN PENGAMPU Dwi Aryanti Ramadhani, DISUSUN OLEH Nilla Deva Lusyana 2010611003 Kelas A PROGRAM STUDI HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA 2021 Analisis Kasus Wanprestasi Perjanjian Jual Beli dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020 I. Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020 II. Identitas para pihak i. Ayunita Purnamasari, diwakilkan oleh kuasa hukum Aman Susanto, SHI., MH., M. Hasan, SHI., Ali Ridlo, SHI, MEI., Sahril Fadli, SHI., MHI., Kharis Mudakir, SHI., MH., Advocates & Legal Consultants sebagai Penggugat ii. Wakhid Budi Triyono sebagai Tergugat III. Objek Perjanjian Objek jual beli mengenai wanprestasi dalam perkara perjanjian jual beli ini adalah sebuah rumah dengan luas bangunan 40 m2 empat puluh meter persegi type 40 empat puluh yang berdiri di atas sebidang tanah seluas 81 m2 delapan puluh satu meter persegi yang terletak di Dusun Wonosalam Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, dengan nomor kavling B1. IV. Kasus Posisi / Kronologis Tanggal 30 Oktober 2017 Penggugat mendaftarkan surat gugatan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sleman dalam register Nomor 264/ Smn tentang duduk perkara Penggugat berniat membeli tanah beserta rumah yang berdiri diatasnya. Kemudian Penggugat mencari informasi melalui teman maupun media cetak dan mendapat informasi bahwa Tergugat pada waktu itu berniat menjual tanah dan menyanggupi bangunan rumah di atasnya. Tergugat menawarkan tanah sekaligus menyanggupi bangunan rumah di atasnya dengan luas 40 m2 type 40 yang berdiri di atas tanah seluas 81 m2 yang terletak di Dusun Wonosalam Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, dengan nomor kavling B1 sebagaimana sertifikat Hak Milik Nomor 7746/Sukoharjo atas nama Wakhid Budi Triyono kepada Penggugat dengan harga Rp. dua ratus sepuluh juta rupiah. Atas tawaran tersebut, Penggugat tertarik untuk membeli tanah beserta rumah di atasnya sebagaimana rincian tersebut. Pada tanggal 10 Maret 2015, Penggugat menandatangani surat Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli dengan Nomor 004/GW/PP/KT/03/2015 dimana Penggugat sebagai pembeli dan Tergugat sebagai penjual dengan objek jual beli sesuai dengan rincian bangunan dan rumah diatas. Penggugat dan Tergugat telah membuat kesepakatan yang dituangkan pada Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli dengan Nomor 004/GW/PP/KT/03/2015. Dimana sebagian isi dari kesepakatan tersebut adalah Bahwa Penggugat sepakat membeli tanah beserta bangunan rumah di atasnya dari Tergugat dengan harga Rp. Secara Angsuran dengan rincian sebagai berikut Booking Fee = Rp tanggal 27 Februari 2015 Angsuran I = Rp tanggal 10 Maret 2015 Angsuran II = Rp tanggal 20 Maret 2015 Angsuran III = Rp tanggal 06 Mei 2015 Angsuran IV = Rp tanggal 06 Juni 2015 Angsuran V = Rp tanggal 06 Juli 2015 Angsuran VI = Rp tanggal 06 Agustus 201 Angsuran VII sejumlah Rp. pada saat serah terima kunci dan Sertifikat Hak Milik. Selanjutnya Bahwa Tergugat berkewajiban menyelesaikan pembangunan rumah tersebut dalam waktu 6 bulan sejak penandatanganan perjanjian tersebut. Apabila dalam jangka waktu tersebut Tergugat belum menyelesaikan pembangunan rumah tersebut maka Penggugat pada bulan berikutnya selama pembangunan rumah belum selesai akan mendapat ganti rugi atas keterlambatan penyelesaian pembangunan dari Tergugat sebesar 2,5% dari presentase sisa progres pekerjaan yang belum diselesaikan oleh Tergugat. Selain itu, dalam isi kesepakatan itu juga tertulis Bahwa setelah pembangunan rumah selesai dan pembayaran selesai dinyatakan lunas, maka Tergugat berkewajiban untuk mengalihkan hak atas tanah dimana rumah tersebut berdiri kepada Penggugat dan segera mendaftarkan peralihan hak tersebut ke kantor Badan Pertanahan Nasional setempat serta menyelesaikan balik nama Sertifikat Hak Milik sehingga tertulis atas nama Penggugat atas beban biaya sesuai dengan perjanjian tersebut. Sebagaimana kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli dengan Nomor 004/GW/PP/KT/03/2015 tertanggal 10 Maret 2015, Penggugat telah melaksanakan prestasinya sebagai pembeli dengan sudah menyerahkan pembayaran-pembayaran Booking Fee dan Angsuran I hingga Angsuran VI sebagaimana yang telah disepakati bersama antara Penggugat dengan Tergugat. Setelah itu Penggugat berniat membayar angsuran terakhir sebesar Rp. empat puluh lima juta rupiah tetapi Tergugat belum menyelesaikan kewajibannya untuk menyelesaikan bangunan sesuai waktu yang disepakati tetapi Tergugat telah menerima dan menikmati uang pembayaran Angsuran I hingga VI dari Penggugat dengan total Rp. seratus enam puluh lima juta rupiah. Tergugat kemudian mengajak Penggugat untuk menandatangani addendum dengan judul Perjanjian Pendahuluan Lanjutan Perikatan Jual Beli tertanggal 14 September 2016 yang dibuat oleh tergugat, yang berisi Bahwa tergugat tidak dapat menyelesaikan pembangunan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat Perjanjian Perikatan Jual Beli Nomor 004/GW/PP/KT/03/2015; Bahwa Penggugat akan mendapatkan ganti rugi atas keterlambatan penyelesaian pembangunan dari Tergugat; Bahwa Tergugat menyatakan kesanggupan untuk menyelesaikan pembangunan rumah tersebut dalam kondisi siap huni; Bahwa apabila waktu yang telah ditentukan tidak dapat diselesaikan Tergugat, maka Tergugat dan Penggugat sepakat untuk menyelesaikan proses jual beli di hadapan notaris. Setelah Perjanjian Pendahuluan Lanjutan Perikatan Jual Beli tertanggal 14 September 2016 ditandatangani, Tergugat tidak juga menyelesaikan pembangunan rumah tersebut bahkan tidak pernah menghubungi Penggugat terkait perkembangan rumah tersebut. Hal ini memberikan kerugian kepada Penggugat hingga harus menyewa kamar kost untuk tempat tinggal sementara. Penggugat berulang kali menegur, mengingatkan, mengirim surat, melayangkan somasi sebanyak dua kali kepada Tergugat untuk memenuhi kewajibannya dan Penggugat telah siap melanjutkan pelunasan secara tunai sekaligus, namun Tergugat selalu berkilah untuk melanjutkan kewajibannya dan sulit untuk ditemui sehingga sengketa belum dapat diselesaikan. Dalam konvensi, Tergugat memberikan jawaban Bahwa Tergugat benar dan mengakui alasan penggugat dimana Penggugat dan Tergugat sepakat dengan Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli Nomor 004/ GW/KT/03/2015 dan Bahwa Tergugat akan melanjutkan pekerjaan sebagai tindakan dari Perjanjian Pendahuluan Lanjutan Perikatan Jual Beli dan tinggal memasang daun pintu, jendela, dan meteran listrik PLN, serta meteran PDAM, namun Penggugat justru memasang sendiri teralis jendela dan meteran listrik sendiri tanpa ijin dari Tergugat. Setelah adanya tindakan sepihak itu, Tergugat telah menegur Penggugat karena keluar dari perjanjian mereka yang Tergugat anggap merugikan Tergugat. V. Analisis Putusan Ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUHPerdata, dalam ketentuan ini dinyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut KUHPerdata, suatu perjanjian terjadi ketika telah adanya kata sepakat consensus dari kedua pihak dan kesepakatan itu mengikat pihak yang membuatnya layaknya undang-undang. Akan tetapi, adakalanya pelaksanaan perjanjian tidak berjalan sesuai yang dikehendaki kedua belah pihak dimana salah satu pihak tidak menjalankan perjanjian dengan sempurna. Dalam hukum perikatan hal ini dikenal dengan istilah cidera janji atau wanprestasi. Seperti yang terjadi pada kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020 yang merupakan sebuah kasus gugatan wanprestasi antara Penggugat Ayunita Purnamasari, yang diwakilkan oleh kuasa hukumnya dengan Tergugat, Wakhid Budi Triyono. Dalam putusan pengadilan tingkat pertama dengan Putusan Nomor 264/ Smn, Majelis Hakim mengabulkan petitum dari Penggugat yang menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan Wanprestasi. Dalam tingkat Banding dengan Putusan Nomor 132/PDT /2018/PT YYK, Majelis Hakim kembali memeriksa, meneliti, dan mencermati berkas perkara Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 264/ Smn. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa putusan Majelis Hakim tingkat pertama telah memutus dengan tepat dan benar. Hal ini menguatkan bahwa benar adanya wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat/Pembanding terhadap Penggugat/Terbanding berdasarkan berkas perkara dan surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara ini. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor. 2239 K/Pdt/2020 yang sudah berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde selanjutnya menguatkan Putusannya dalam Tingkat Pertama maupun Tingkat Banding dimana dalam perkara ini tergugat tidak menyelesaikan kewajibannya untuk memenuhi prestasi dari hasil perjanjiannya. Oleh sebab itu tindakan Tergugat adalah perbuatan wanprestasi terhadap Penggugat. Berdasarkan pertimbangan Hakim tersebut, maka penulis analisis bahwa perjanjian jual beli beserta revisi yang dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat dengan objek rumah di atas sebidang tanah adalah sah menurut hukum dan perbuatan Tergugat merupakan sebuah wanprestasi. Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian atau persetujuan dimana satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lainnya mengikatkan diri untuk membayar sesuai harga yang telah dijanjikan. Menurut Pasal 1458 KUHPerdata, jual beli dianggap telah terjadi antara kedua pihak setelah para pihak mencapai kesepakatan tentang barang beserta harganya meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Jika dikaitkan dengam kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020, maka jual beli antara Penggugat dan Tergugat dianggap telah terjadi. Hal ini diperkuat dengan adanya kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli Nomor 004/ GW/KT/03/2015 dan adendumnya. Artinya bahwa perjanjian tersebut sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata yaitu kedua pihak telah mengikatkan dirinya dan Pasal 1233 KUHPerdata dimana perjanjian tersebut melahirkan suatu perikatan dan perjanjian tersebut merupakan sumber perikatan disamping undang-undang. Perjanjian yang dilakukan antar Penggugat dan Tergugat di atas juga telah memenuhi ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu a. Kesepakatan Pada kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020, pihak-pihak yakni Penggugat dan Tergugat telah mengadakan perjanjian jual beli yang tertuang dalam Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli Nomor 004/ GW/KT/03/2015 yang telah ditanda tangani kedua belah pihak. Dengan adanya perjanjian jual beli tersebut maka telah memenuhi unsur kesepakatan antar Penggugat dan Tergugat. b. Kecakapan Untuk Mengadakan Suatu Perjanjian Dalam undang-undang ditentukan bahwa untuk dapat melakukan perbuatan hukum, seseorang harus cakap. Seseorang dikatakan cakap ketika telah memenuhi syarat-syarat cakap yang ditentukan oleh undang-undang dimana salah satunya adalah dewasa dan sedang tidak berada dibawah pengampuan. Pada kasus dalam Putusan Nomor 2239 K/Pdt/2020, kedua pihak yang bersengketa sudah cakap melakukan suatu perjanjian karena keduanya sudah dewasa dan tidak berada dibawah pengampuan. c. Objek atau Hal tertentu Objek atau hal tertentu dalam hal ini maksudnya adalah jenis benda yang ada dalam perjanian sudah ditentukan. Dalam kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020, jenis benda dalam perjanjian telah ditentukan yaitu berupa sebuah rumah dengan luas bangunan 40 m2 empat puluh meter persegi type 40 empat puluh yang berdiri di atas sebidang tanah seluas 81 m2 delapan puluh satu meter persegi yang terletak di Dusun Wonosalam Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, dengan nomor kavling B1. d. Suatu Sebab yang Halal Suatu sebab yang halal berarti apa yang menjadi isi dari perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dilihat dari hasil analisa terhadap Pasal 1320 KUHPerdata, maka dapat disimpulkan perjanjian tersebut sah karena memenuhi syarat sahnya perjanjian. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor. 2239 K/Pdt/2020, kedua belah pihak telah mengikatkan dirinya melalui Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli Nomor 004/ GW/KT/03/2015 dan adendumnya, Perjanjian Pendahuluan Lanjutan Perikatan Jual Beli tertanggal 14 September 2016. Perjanjian tersebut adalah perjanjian yang bersifat timbal balik, maka antar Penggugat dan Tergugat masing-masing memiliki hak dan kewajiban atas suatu prestasi yang mana bentuk dari prestasi tersebut diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu Memberikan sesuatu, Berbuat sesuatu, dan Tidak berbuat sesuatu sehingga baik Penggugat dan Tergugat berhak dan wajib memenuhi prestasinya masing-masing. Tindakan Tergugat yang tidak melaksanakan kewajiban untuk menyelesaikan pembangunan objek jual beli yang seharusnya selesai 6 bulan setelah penandatanganan perjanjian sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Pendahuluan Perikatan Jual Beli Nomor 004/GW/PP/KT/03/2015 merupakan sebuah perbuatan wanprestasi terhadap Penggugat yakni Tergugat tidak melakukan sesuatu yang telah diperjanjikan dan terlambat dalam melakukan prestasinya. Hal ini melanggar ketentuan dalam Pasal 1234 KUHPerdata. Selain itu, perbuatan Tergugat di atas juga bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik. Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur Tergugat dalam hal ini menimbulkan kerugian bagi kreditur Penggugat, baik kerugian materil maupun kerugian imateriil. Mengacu pada Pasal 1236 KUHPerdata, debitur wajib memberikan ganti rugi dan bunga kepada kreditur apabila debitur telah menjadikan dirinya tidak mampu untuk menyerahkan kewajibannya atau tidak merawatnya dengan sebagaimana harusnya. Dalam konvensi, Tergugat menyatakan bahwa penyebab wanprestasi yang dilakukan Tergugat adalah karena Tergugat merasa dirugikan karena Penggugat melakukan secara sepihak pemasangan teralis jendela dan meteran listrik sendiri tanpa ijin dari Tergugat. Namun hal ini tidak dibenarkan oleh Majelis Hakim karena hal ini justru meringankan beban Tergugat dan bukan merupakan alasan yang dibenarkan untuk melakukan wanprestasi. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 1244 KUHPerdata yang menyatakan debitur dapat dihukum untuk membayar kerugian akibat tindakannya karena tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakan perjanjiannya itu disebabkan oleh hal tak terduga dan Pasal 1245 KUHPer yang meyatakan tidak ada penggantian kerugian apabila karena adanya keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan. Oleh karena itu, dalam putusan pengadilan mengenai perkara ini sudah tepat bahwa Tergugat dibebankan untuk menyelesaikan prestasinya yang belum dipenuhinya karena Tergugat tidak dapat membuktikan alasan wanprestasinya itu karena sebab hal yang tidak terduga sedangkan kerusakan atau penyusutan objek sengketa yang disebabkan oleh waktu tidak dapat dibebankan kepada Tergugat karena hal ini berada di luar kuasa Tergugat. Kesimpulan yang didapat dari analisis kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/Pdt/2020 adalah perjanjian yang telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut layaknya sebuah undang-undang. Suatu perbuatan dikatakan perbuatan wanprestasi ketika salah satu pihak yang mengadakan perjanjian tidak memenuhi prestasinya seperti yang telah disepakati dalam isi perjanjian yang dibuatnya. VI. Referensi Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku Marilang. 2017. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Makassar Indonesia Prime. Pangestu, M. T. 2019. Pokok-pokok Hukum Kontrak. Makassar CV. Social Politic Genius SIGn. Wardiono, K., & dkk. 2018. Buku Ajar Hukum Perdata. Surakarta Muhammadiyah University Press. Arikel Jurnal APRIANI, T. 2021. Konsep Ganti Rugi Dalam Perbuatan Melawan Hukum Dan Wanprestasi Serta Sistem Pengaturannya Dalam Kuh Perdata. Ganec Swara, 151, 929. Dalimunthe, D. 2017. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW. Jurnal Al-Maqasid, 31, 14. Langi, M. 2016. Akibat Hukum Terjadinya Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli. Lex Privatum, 43, 99–106. Nurdianto, F. T. 2014. PEMBAYARAN GANTI RUGI OLEH DEBITUR KEPADA KREDITUR AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERJANJIA N BERDASARKAN PASAL 1236 KUHPERDATA. Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, VI7, 58–65. Santoso, L., & Lestari, T. W. S. 2017. Konparasi Syarat Keabsahan “Sebab Yang Halal” Dalam Perjanjian Konvensional Dan Perjanjian Syariah. Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 21, 1. Analisis Kasus Perbuatan Melawan Hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 I. Nomor Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 II. Identitas Para Pihak i. Chanifah Istri almarhum Maryun diwakili oleh kuasa hukumnya Nurul Amalia, SH., Syah Fitri Harahap, SH. yang selanjutnya diteruskan oleh ahli warisnya 1 Ida Mardiana, 2 Eko Mubari, 3 Dwi Siswanto, 4 Endang Rohimawati, 5 Imam Khuzaeni, 6 Eti Rahmayanti, 7 Abdul Rozak, 8 Lukman, 9 Lisza, dan 10 Yunan sebagai Penggugat ii. Sukirno alias Akhiong Tjun Djung Khiong sebagai Tergugat I iii. Ricky Dinata sebagai Tergugat II iv. PT. BDN Cabang Jakarta Mangga Besar, atau kemudian bernama PT. BANK MANDIRI Credit Recovery III sebagai Tergugat III v. Balsabar Siagian, SH., Notaris dan PPAT Jakarta Utara sebagai Tergugat IV vi. Badan Pertanahan Nasional Cq. Kantor Pertanahan Jakarta Utara sebagai Turut Tergugat I vii. Pemerintah RI Cq Departemen Keuangan RI Cq. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta I sebagai Turut Tergugat II III. Objek Sengketa Tanah darat yang terletak di Jalan Warakas Gg Xi/63 Rt 013 /010 Kelurahan Warakas, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara seluas 113 m2 dengan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut seluas 113 m2 IV. Kasus Posisi/ Kronologis Penggugat adalah istri ahli waris dari almarhum Maryun yang memiliki tanah seluas 113 M2 dengan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut seluas 113 M2, yang terletak di Jalan Warakas Gg XI/63 dengan bukti kepemilikan sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987 atas nama Maryun almarhum. Sejak tahun 1982 hingga saat ini Penggugat sudah menempati tanah tersebut dengan bukti kepemilikan sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987 atas nama Maryun almarhum dan Penggugat tidak pernah pindah atau mengosongkan tanah tersebut. Tanah dan bangunan tersebut diperoleh dari hasil jual beli antara Penggugat dengan Bapak Djasid tahun 1976 dengan harga sebesar Rp. Sejak menempati tanah tersebut hingga saat ini Penggugat masih membayar iuran pembangunan daerah dan Pajak Bumi dan Bangunan per tanggal 7 Mei 2012 bahkan nama yang tertera dalam Surat Tanda Terima Setoran STSS masih atas nama Bapak Maryun almarhum. Pada tahun 1995 Penggugat meminjam uang kepada Tergugat I sebesar Rp. satu juta rupiah dengan menjaminkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang dimiliki Penggugat. Jangka waktu pinjam uang yang disepakati adalah selama satu tahun dan berdasarkan kesepakatan secara lisan, Penggugat diwajibkan membayar bunga sebesar Rp. per bulan. Penggugat melakukan pembayaran dengan lancar setiap bulannya selama satu tahun, kemudian Penggugat bermaksud akan mengambil sertifikat hak guna bangunan miliknya tersebut, akan tetapi Tergugat I tidak ada di rumah dan sangat sulit untuk ditemui. Pada tanggal 12 Mei 1998 Tergugat I mengirim surat ke Penggugat yang isinya Tergugat I akan mengembalikan sertifikat Penggugat yang dijaminkan oleh Penggugat sekitar bulan Agustus 1998 tetapi setelah bulan yang dijanjikan Tergugat I tidak pernah mengembalikan sertifikat Hak Guna Bangunan milik Penggugat. Sekitar tahun 2002 Penggugat bermaksud menemui Tergugat I, Tetapi Penggugat hanya dijanjikan pengembalian setifikat hak guna bangunan akan dikembalikan dalam dua hari, Penggugat pun kembali akan menemui Tergugat I tetapi Tergugat I sudah tidak dapat ditemui. Penggugat sadar Tergugat I bermaksud beritikad baik terhadap hak guna bangunan asli milik Penggugat tersebut. Sejak tahun 2002 sampai 2003 Penggugat masih menunggu Tergugat I untuk mengembalikan, tetapi dikarenakan Tergugat I tidak dapat ditemui, maka Penggugat melaporkan peristiwa tersebut kepada Kepolisian Resor Jakarta Utara. Pertengahan tahun 2004 Penggugat hendak menaikkan sertifikat hak guna bangunan menjadi hak milik, Penggugat mendatangi Turut Tergugat I, namun Penggugat terkejut setelah diketahui bahwa Sertifikat Hak guna Bangunan yang dimiliki Penggugat telah dialihkan kepada Tergugat II berdasarkan Akta Jual Beli PPAT Belsasar Siagiaan, SH., tertanggal 8 Februari 1996 dengan No. 95/ dan tercatat di Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara tertanggal 22 Februari 1996. Padahal Penggugat tidak pernah mengenal dan tidak Pernah berhubungan dengan Tergugat II. Penggugat tidak pernah menyerahkan baik fotocopy maupun dokumen asli dan sebagainya, tidak pernah membuat surat kuasa kepada Tergugat IV yaitu sebagai notaris dan PPAT Jakarta Utara, tidak pernah menandatangani akta jual beli, serta tidak pernah menandatangi surat apapun yang ada kaitannya dengan pengalihan hak kepada Tergugat II. Selanjutnya didapati fakta bahwa Turut Tergugat I mengeluarkan surat No. 1008/III/PT/JU/6/2003 tertanggal 24 Juni 2004 yang berisikan penjelasan mengenai sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo telah beralih kepemilikan menjadi atas nama Tergugat II. Tanpa sepengetahuan Penggugat pula, Tergugat II telah menggunakan sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo sebagai jaminan untuk meminjam modal. Tanpa sepengetahuan dan seijin Penggugat, Tergugat II pun telah menggunakan setifikat Hak Guna Bangunan No. 987 milik Penggugat untuk mengajukan pinjaman uang kepada Tergugat III, kemudian Tergugat III pun memberikan fasilitas kredit kepada tergugat II dengan perjanjian kredit No. 28/03/C/ tertanggal 28 Februari 1996. Pemberian kredit tersebut diberikan Tergugat III tanpa dilakukan survey terlebih dahulu ke alamat tanah yang dijaminkan. Selanjutnya Penggugat mengetahui fakta adanya piutang macet Tergugat II kepada Tergugat III dimana sertifikat hak guna bangunan Penggugat menjadi barang jaminan yang akan dilelang oleh Tergugat IV karena sudah dalam tahap penjualan barang sitaan. Tergugat IV menyarankan Penggugat mengikuti lelang terbuka untuk membeli kembali setifikat tersebut, namun Penggugat tidak pernah diberitahukan mengenai adanya pelelangan tersebut. V. Analisis Putusan Dalam putusan pengadilan tingkat pertama dengan Putusan Nomor 341/ Majelis Hakim mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Penggugat yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat IV merupakan perbuatan melawan hukum, menyatakan tanah bersertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo adalah milik sah Penggugat, menyatakan perjanjian lisan antara Penggugat sebagai kreditur dan Tergugat sebagai debitur adalah sah dan mengikat Penggugat serta Tergugat I, menyatakan akta-akta Tergugat yang berkaitan dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo batal demi hukum, serta menghukum para Tergugat untuk membayar uang paksa. Mahkamah Agung menguatkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama dalam tingkat kasasi yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 yang sudah berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde, mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi yaitu Almarhumah Chanifah istri almarhum Maryun yang diteruskan oleh ahli warisnya, serta membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 210/PDT/2015/ tanggal 16 Juni 2015 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 341/ yang berarti putusan inkracht dari perkara ini adalah sebagaimana yang tertuang dalam putusan pengadilan tingkat pertama yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat IV merupakan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum merupakan suatu ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa perbuatan yang melawan hukum adalah perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dan mewajibkan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut untuk mengganti kerugian. Pengertian ini secara jelas menyebutkan akibat dari adanya perbuatan melawan hukum tersebut adalah mewajibkan orang yang berbuat untuk mengganti kerugian tersebut. Suatu perbuatan dapat dikatakan perbuatan melawan hukum jika memenuhi unsur-unsurnya, yakni 1. Perbuatan itu harus melawan hukum. Pada kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo telah beralih kepemilikan menjadi atas nama Tergugat II tanpa sepengetahuan Penggugat sebagai pemilik sertifikat tersebut. Hal ini merupakan salah satu syarat seseorang dikategorikan sebagai orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatannya melanggar hak orang lain. 2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian. Kerugian ini dapat bersifat kerugian materil dan immateril. Pada kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 Tergugat II Menjadikan sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo milik Penggugat sebagai jaminan untuk meminjam modal. Selanjutnya Penggugat mengetahui fakta adanya piutang macet Tergugat II kepada Tergugat III dimana sertifikat hak guna bangunan Penggugat menjadi barang jaminan yang akan dilelang oleh Tergugat IV karena sudah dalam tahap penjualan barang sitaan. 3. Perbuatan itu hanya dilakukan dengan kesalahan. Dalam hukum perdata, seseorang dikatakan bersalah jika terhadap orang itu dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan olehnya. Berdasarkan hal ini, maka perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang sengaja atau lalai. Suatu tindakan dianggap mengandung kesalahan jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut a. Ada unsur kesengajaan. Kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 Tergugat I tidak mengembalikan jaminan utang milik Penggugat seperti yang telah diperjanjikan sebelumnya. Tergugat I telah berjanji untuk mengembalikan tetapi tidak kunjung mengembalikannya meskipun telah diperingatkan oleh Penggugat. b. Ada unsur kelalaian. Dalam unsur kelalaian, pembuat haruslah dapat mengira-ngira apakah perbuatan yang dilakukannya menimbulkan suatu resiko yang akan berdampak kepadanya, tetapi pembuat dalam hal ini tetap melakukan perbuatan yang seharusnya dihindari. 4. Antara perbuatan dan kerugian terdapat hubungan kausal. Pada Pasal 1365 KUHPerdata, hubungan kausal dapat dilihat dari apakah kerugian itu timbul karena adanya perbuatan tersebut atau apakah kerugian itu merupakan akibat dari perbuatan tersebut. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 yang sepatutnya dipersalahkan adalah Tergugat I karena Penggugat tidak akan mengalami kerugian apabila Tergugat I berbuat sesuai kesepakatan antara Penggugat dan dirinya. Tergugat I tidak mengembalikan jaminan utang dimana dalam hal ini adalah objek yang disengketakan, padahal kesepakatan telah lahir dari perjanjian secara lisan yang dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat I yang berisi jika Penggugat telah melunasi utang maka Tergugat I akan mengembalikan jaminan tersebut. Meskipun perjanjian dibuat secara lisan, perjanjian ini tetap sah sepanjang memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana dalam 1320 KUHPerdata dan tetap menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Tindakan yang dilakukan oleh Tergugat I juga telah mengakibatan terjadinya kekisruhan dan kaburnya kepastian hukum atas kepemilikan tanah dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan milik Penggugat. Pada kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 dilihat dari hasil analisa terhadap Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah perjanjian, Perbuatan hukum yang dilakukan Tergugat II yaitu pengalihan hak dari Sertifikat Hak Guna Bangunan milik Penggugat kepada Tergugat II serta perjanjian kredit yang dilakukan Tergugat II dengan Tergugat III telah melanggar syarat objektif Pasal 1320 KUHPerdata karena tidak memenuhi syarat sebab yang halal dalam perjanjian. Hal ini diperkuat dengan perbuatan Tergugat I dan Tergugat II yang mengalihkan hak dari Penggugat kepada Tergugat II dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan Penggugat, lalu perbuatan Tergugat II yang mengajukan pinjaman kepada Tergugat III dengan menjaminkan Hak Guna Bangunan milik Penggugat, serta adanya pelelangan tanpa sepengetahuan Penggugat sebagai pemilik tanah. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 perbuatan para Tergugat juga telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat sehingga berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” Artinya kasus tersebut memenuhi Pasal 1365 KUHPerdata yang mana para tergugat wajib mengganti kerugian yang dialami Penggugat. Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum baik yang disengaja maupun tidak atau karena lalai selanjutnya diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata, “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Perbuatan melawan hukum dalam hal ini telah mengakibatkan pelanggaran terhadap hak Penggugat. Ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dapat berupa ganti rugi dalam bentuk uang, ganti rugi dalam bentuk pengembalian keadaan seperti semula, pernyataan perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum, larangan untuk melakukan suatu perbuatan, dan meniadakan sesuatu yang diperoleh secara melawan hukum. Penggugat selain memiliki hak untuk meminta ganti kerugian juga memiliki wewenang untuk mengajukan nilai tuntutan yakni agar pengadilan menyatakan bahwa perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum. Penggugat juga dapat mengajukan tuntutan kepada pengadilan untuk menjatuhkan keputusannya dengan melarang Tergugat untuk melakukan perbuatan melawan hukum dikemudian hari. Hal ini dapat dilihat dari dikabulkannya gugatan yang menyatakan akta-akta Tergugat yang berkaitan dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 987/Papanggo batal demi hukum. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya perbuatan melawan hukum di kemudian hari. Kesimpulan yang didapat dari analisis terhadap kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2019 adalah bahwa suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum ketika perbuatan tersebut memenuhi unsur perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan setiap orang wajib bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya. VI. Referensi Buku Abdulkadir Muhammad. 2002. Hukum Perikatan. Bandung Alumni. MA. Moegni Djojodirjo. 1982. Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Pradnya Paramita. Wardiono, K., & dkk. 2018. Buku Ajar Hukum Perdata. Surakarta Muhammadiyah University Press. Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Perdata Artikel Jurnal Abdughani, D. M. K. 2021. Tanggung jawab notaris/ppat terhadap akta jual beli tanah yang batal demi hukum. June. Prayogo, S. 2016. Penerapan Batas-Batas Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian. Jurnal Pembaharuan Hukum, 32, 280. Reza Nurul Ichsan, 2020. 2020. Jurnal Ilmiah METADATA. 211, 120–127. Slamet, S. R. 2013. Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi. Lex Jurnalica Journal of Law, 102, 107–120. Winanti, A., Qurrahman, T., & Agustanti, R. D. 2021. Peningkatan Status Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Milik. Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia, 32, 431–438. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this WinantiTaupiq Qurrahman Rosalia Dika AgustantiArticle 33 paragraph 3 of the 1945 Constitution which reads Earth, water and natural resources in it are controlled by the State and used for the greatest prosperity of the people. This article is one of the foundations for the birth of a law on basic agrarian principles. In the UUPA, land rights include property rights, rights to build, right to cultivate, use rights and other far, people in Indonesia control land with the status of ownership rights and building use rights. The strongest and most fulfilled status of land a person has is only property rights. Meanwhile, the right to build only has a certain period. We chose a place of service in the village of Satria Jaya because in this village there is a housing complex, namely Perum Graha Prima which is intended for Civil Servants and Members of the Indonesian National Army who are certified Building Use Rights. Most of the residents in this housing do not know how to qualify and how to change their rights position. From building use rights to ownership rights. So that giving understanding to the community about the importance of property rights and how to improve the position of land rights is a solution given to local communities. The implementation of community service activities is carried out virtually by using the Zoom application. Where the resource person delivered material about Property Rights, Building Use Rights and the process of increasing the status of land 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi Bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal tersebut sebagai salah satu landasan lahirnya undang-undang tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria UUPA. Dalam UUPA hak-hak atas tanah meliputi hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan hak lainnya. Sejauh ini, masyarakat di Indonesia menguasai tanah dengan status hak milik dan hak guna bangunan. Status tanah yang terkuat dan terpenuh yang dimiliki seseorang hanyalah hak milik. Sedangkan hak guna bangunan hanya mempunyai jangka waktu tertentu. Kami memilih tempat pengabdian di desa Satria Jaya karena di Desa ini terdapat Perumahan yaitu Perum Graha Prima yang diperuntukkan bagi PNS dan Anggota TNI yang bersertifikat Hak Guna Bangunan HGB. Hampir sebagian besar penduduk di perumahan tersebut tidak mengetahui bagaimana persyaratan dan caranya untuk merubah status hak dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik. Sehingga pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya hak milik serta bagaimana peningkatan status hak katas tanah menjadi solusi yang diberikan kepada masyarakat setempat. Kegiatan pelaksanaan pengabdian dilakukan secara virtual dengan mempergunakan aplikasi Zoom. Dimana narasumber menyampaikan materi tentang Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan proses peningkatan status hak atas tanahSedyo PrayogoThe Act of the Civil Law makes a clear distinction between the engagement that is born of the agreement and engagement that is born of the legislation. The legal consequences are born of an engagement agreement is desired by the parties, because memng agreement based on the agreement that a rapprochement between the parties will make arrangements. While the legal consequences of an engagement that is born of a statute may not be desired by the parties, but the relationship of law and the legal consequences prescribed by law. Legal issues that arise in case there is a contractual relationship between the parties and the event of default can filed a lawsuit against the law. Based on the identification and analysis, the authors conclude that the draft Civil Code distinguishes between tort lawsuit is based on the contractual relationship between the Plaintiff and the Defendant and tort claims where there is no contractual relationship between the Plaintiff and the Defendant. Developments in the practice of court decisions indicate that a shift in the theory because of the contractual relationship between the Plaintiff and Defendant did not preclude the filing of a lawsuit against the WardionoWardiono, K., & dkk. 2018. Buku Ajar Hukum Perdata. Surakarta Muhammadiyah University Nurul IchsanReza Nurul Ichsan, 2020. 2020. Jurnal Ilmiah METADATA. 211, R SlametSlamet, S. R. 2013. Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi. Lex Jurnalica Journal of Law, 102, 107-120.

kasus perbuatan melawan hukum