AlGhazali berpandangan bahwa kaum sufi dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh para ilmuan dan filosot. Para sufi menyaksikan sesuatu melaui nur yang dipancarkan tuhan kepada orang yang dikehendakinya. Nur itu adalah kunci ma'rifah. Ma'rifah yang sebenarnya menurut al-Ghazali, didapatkan melalui nur yang dipancarkan tuhan Khazrajadalah daerah asal alim besar yang bernama lengkap Syeikh Zakaria al-Anshari al-Khazraj i. Sayang sekali tahun kelahiran sufi yang sangat harum namanya di dunia Islam ini tidak tercatat. Namun kiranya nama besar nya bisa menutup kealpaan sejarah. Atau kalau memang tanggal kelahiran bisa dijadikan event perayaan. PascaAl-Ghazali wafat, muncul pemikir Islam yang terkenal seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Arabid, dan lain-lain. Di dalam Islam, Imam Al-Ghazali dikenal sebagai bapak tasawuf dunia. Ia mengajarkan keselarasan hidup di dunia dan akhirat. Al-Ghazali lahir di Thus, Iran dan hidup pada 1058-1111 Masehi. MenurutGus Ulil, sapaan akrab KH Ulil Abshar Abdallah, kitab Faishal al-Tafriqah adalah salah satu kitab al-Ghazali yang semangatnya adalah mengembangkan sikap toleransi. Kitab ini penting dikaji ditengah marak susahnya toleransi. Penting, karena faktanya, toleransi internal lebih susah dari pada toleransi eksternal. AlGhazali menggarisbawahi bahwa penghormatan yang setinggi-tingginya mesti ditunjukkan kala berziarah ke makam Rasulullah. Rasa ta'dhim peziarah mesti tampil sebagaimana saat ia menghadap pribadi mulia yang masih hidup, misalnya, dengan tidak sembarangan menyentuh atau mencium makam beliau. Rasulullah, kata Imam al-Ghazali, mengetahui Halini seperti ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali: "Ziarah kubur disunnahkan secara umum dengan tujuan untuk mengingat kematian dan mengambil pelajaran, dan menziarahi kuburan orang-orang shalih disunnahkan dengan tujuan untuk tabarruk mendapatkan barakah serta pelajaran," Al-Ghazali, Ihya' Ulum ad-Dien, juz 4, hal. 521 . . Presiden Joko Widodo kedua kanan didampingi, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo kedua kiri dan Ketua Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mutabarah al-Nahdliyyah JATMAN Habib Muhammad Luthfi bin Yahya kanan Ilustrasi JAKARTA - Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah JATMAN akan menyelenggarakan Seminar Internasional Tasawuf Imam Al Ghazali di Hotel Borobudur Jakarta pada 19-20 Januari 2018. Salah satu tujuan seminar ini untuk mendapatkan dukungan dari ulama dunia untuk membangun makam Imal Al Ghazali di Iran."Kondisi makam Imam Al Ghazali di Thus Iran tempat kelahirannya saat ini kondisinya terabaikan," kata Sekretaris Umum Seminar Internasional Tasawuf Imam Al Ghozali, Ali Abdillah kepada Senin 9/1.Pada zaman Mongolia, peninggalan umat Islam di daerah Thus dihancurkan pasukan Mongolia. Kemudian, arkeolog menemukan kembali makam Imam Al Ghazali di daerah Thus pada 1994. Habib Luthfi bin Yahya juga sudah meyakinkan bahwa lokasi makam Imam Al Ghazali yang ditemukan arkeolog pada 1994 itu benar. Maka sudah selayaknya makam tokoh umat Islam tersebut dibangun dengan karena itu, Seminar Internasional Tasawuf Imam Al Ghazali yang diselenggarakan JATMAN mengundang tokoh ulama sunni dari Iran, kedutaan besar Iran, dan ahli perbandingan mazhab dari Iran. "Karena makam Imam Al Ghazali ada di Iran, maka perlu kerja sama dengan mereka supaya makam bisa dibangun," ujarnya. Selain itu, dikatakan Ali, tujuan lain dari seminar Internasional ini untuk menyegarkan kembali ajaran Tasawuf Imam Al Ghozali. Untuk menjawab persoalan global seperti radikalisme dan liberalisme. Juga untuk menyelesaikan masalah sosial seperti pragmatisme, materialisme dan hedonisme. "Itu juga bisa diselesaikan dengan pendekatan Tasawuf Imam Al Ghozali," besar Seminar Internasional Tasawuf Imam Al Ghazali adalah peran dan kontribusi ajaran Tasawuf Imam Al Ghozali dalam membangun peradaban dunia yang damai dan utama di seminar Internasional ini di antaranya Habib Luthfi bin Yahya sebagai Rais Amm itu, ada juga Prof KH Said Aqil Siradj sebagai Ketua Umum PBNU, Syaikh Dr Yasser Al Kudmani sebagai Mudir Ghazaliyah Suriah, Syeikh Dr Muhammad Mahmud Abu Hasyim dari Universitas al-Azhar di Mesir, Syeikh Dr Aziz Al Kubaithi dari Maroko, Syeikh Dr Mazen Sherif dari Tunisia, Syeikh Dr Aziz Abidin dari Amerika, dan pembicara-pembicara lainnya dari berbagai negara. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini One of Moslems who have great ideas and was known as a reformer mujaddid, among others, is al-Gazali. Socio-cultural conditions at the time, namely the emergence of political disstability that have an impact on the fragmentation of Muslims, the destruction of religion and morality. This situation makes him becoem a hero and Islamic Defenders Argumentator hujjah al-Islam as his responsibility to fix the blind thoughts and actions that shake the Muslims' life. The purpose of education is to get closer to Allah SWT and not oriented only in world interests. So that, the curriculum presented should include three terms, called jasmaniyah, 'aqliyyah and akhlaqiyyah. The opinion is based on two approaches, Fiqh and Sufism. This thought seems systematic and comprehensive, and also consistent with the attitude and personality as a Sufi and Faqih. The concept of education offered, if applied in the present seems still appropriate. Beside, the needs should be perfected in accordancing with local knowledge where the education implemented. Oleh Abdul Hakim Di dunia Islam, baik timur maupun barat, siapa yang tak kenal dengan dengan Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ath Thusi 1111 M. Ia dikenal dengan nama Imam Ghazali. Seorang ulama yang berhasil menggagas kaidah-kaidah tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya Ulumuddin The Revival of Religion Sciences. Karya magnum opus yang hingga saat ini menjadi sumber referensi akademis baik di dunia Timur maupun dunia yang dikenal hujjatul Islam itu masih bisa kita nikmati hingga saat ini, tapi sangat disayangkan, tempat jasadnya dikebumikan, tak layak disebut makam ulama. Makamnya di Thus, Khurasan, Iran, yang konon sejak 7 tahun lalu ditemukan, hanya dipagari dengan kawat dan beratapkan bahan seadanya, serta di sekelilingnya terlihat rumput-rumput itu benar, saya berharap kepada semua pecinta Imam Ghazali, mari bergerak mendermakan hartanya. Jika sudah terkumpul, mari kita meminta ahli arsitek khusus dari Indonesia untuk terbang ke Thus atau Khurasan dengan membawa rombongan para pekerjanya, tentunya dengan perizinan pemerintah di sana, untuk merehab atau pembangunannya. Jika hal itu dapat direalisasikan, insyaallah, makam beliau akan semakin hidup dan bisa jadi tujuan destinasi ziarah wali bagi Muslimin pecinta Imam Ghazali dari seluruh تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”. Ayat tersebut mengatakan, para wali dan syuhada atau mujahid yang berjuang di jalan Allah tidaklah wafat, bahkan mereka hidup disisi Allah SWT. Kita bisa mencontoh dengan yang sudah dilakukan Muslimin terhadap makam para dzuriyat Rasul, seperti Sayidina Ali 661 M dan Sayidina Husein 680 M di Irak serta Sayidina Ali Arridha 819 M yang tidak jauh dari makam Imam Ghazali. Begitupun dengan makam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i 820 M yang berada di Mesir. Di makam-makam terlihat hidup dan memberi banyak manfaat bagi para pecintanya, dimana di sana dibangun perpustaan yang merangsang terjadinya halaqoh-halaqoh majelis lain sisi kita patut bersedih terhadap kondisi makam para istri Rasulullah SAW, putra, putri dan cucunya serta para sahabat dan aulia yang berada di Jannatul Baqi' Madinah Al Munawarah. Pada tahun 1925 M, makam mereka dahulu diratakan pemerintah Saudi atas dukungan Wahabiyin antiziarah. Mari kita bergerak, jangan kita pandai membangun yayasan dan rumah kita saja, lalu kita melupakan diri untuk merawat makam orang yang kita cintai. Jika bukan kita siapa lagi yang dapat merealisasikan gerakan pembangunan ini? Jika bukan kita, maka siapa lagi yang dapat mencerdaskan umat agar semangat dalam menjaga atsar ulama dan aulia. Jika bukan kita maka siapa lagi yang dapat menjaga sejarah mereka? Sudikah kita memiliki generasi yang tak mengenal sejarah hanya karena hilangnya atsar tersebut?Penulis adalah Sekretaris LTN PCNU Kabupaten Bogor, anggota Gusdurian Depok Hujjatul Islam Imam Al-Gazali. Siapa tak kenal ulama tersohor ini? Kedalaman ilmu ulama bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi tersebut tak diragukan lagi, bahkan oleh para pengkritiknya. Karya tulisnya ratusan dan dibaca selama berabad-abad hingga sekarang. Madzhab tasawufnya diikuti. Ilmu kalamnya menjadi benteng. Dan ulasan ushul fiqihnya menjadi rujukan. Imam al-Ghazali juga serius mendalami filsafat meski akhirnya ilmu ini ia kritik Imam al-Ghazali sebagai ilmuan diakui oleh kawan maupun lawan. Tapi yang mesti diingat, kehebatannya tak datang tiba-tiba. Ulama yang terkenal dengan karya monumental Ihya’ Ulumiddin ini melalui kehidupan berliku sejak kecil. Al-Ghazali hidup dalam keluarga miskin. Ayahnya yang sangat taat beragama adalah seorang pemintal dan melalui perkejaan sederhana ini pula ia menghidupi keluarga. Ia hanya mau menafkahi keluarga dari hasil jerih payahnya diliputi hidup yang serbaterbatas, ayah al-Ghazali menyimpan impian yang begitu menggebu, yakni kedua anaknya, Imam al-Ghazali dan saudaranya Imam Ahmad kelak menjadi orang yang faqîh dan tonggak dalam suksesnya syiar Islam. Ayah Imam al-Ghazali memang orang yang gemar mengunjungi majelis-majelis ilmu, melayani para ulama, dan ketika mendengarkan kalam guru-gurunya itu ia menangis dan merunduk sembari melangitkan doa bagi masa depan tersebut terkabul meski sang ayah tak menyaksikan kebesaran anak-anaknya karena wafat sebelum mereka dewasa. Kerasnya hidup sebagai anak yatim dan semangat menimba ilmu yang terus berkobar membuat al-Ghazali kecil dan saudaranya tumbuh sebagai manusia yang cerdas dan sangat disegani. Wawasannya luas dan terbuka, pribadinya penuh cinta dan kasih sayang, serta kezuhudan dan ketaatannya dalam beragama amat meyakinkan. Bahkan oleh sang guru, Imam al-Haramain, al-Ghazali dijuluki “bahrun mughdiq” lautan luas tak bertepi.Imam al-Ghazali pernah diangkat sebagai guru besar di Madrasah Nidhamiyah, Bagdad, era kekuasaan Nidhamul Mulk saat usianya 34 tahun. Ini adalah kedudukan tertinggi di dunia pendidikan dan keislaman zaman itu yang belum pernah disandang siapa pun dalam usia yang relatif muda. Meskipun, kehormatan itu sempat ia lepas begitu saja demi pendalamannya terhadap ilmu demikian, bukan statusnya sebagai profesor itu yang membuat kisah Imam al-Ghazali menarik. Setelah mengakhiri pengabdian di Madrasah Nidhamiyah, sang imam pulang ke kampung asal, Thus, dan mendirikan zawiyah atau semacam pesantren untuk meneruskan khidmah mengajar hingga akhir hayat. Pada detik-detik kewafatannya, sebuah peristiwa indah Faraj ibn al-Juuzi dalam kitab Ats-Tsabât 'indal Mamât memaparkan cerita dari Imam Ahmad, saudara kandung Imam al-Ghazali. Suatu hari, persisnya Senin 14 Jumadil Akhir 505 H, saat terbit fajar, Imam al-Ghazali mengambil wudhu lalu menunaikan shalat shubuh. Usai sembahyang, al-Ghazali berkata, "Saya harus memakai kain kafan.” Lalu ia mengambil, mencium, dan meletakkan kain kafan tersebut di kedua matanya. Selanjutnya, Imam al-Ghazali berucap, “Saya siap kembali ke hadirat-Mu dengan penuh ketaatan dan kepatuhan saman wa thâ’atan lid dukhûli alal mulk.” Ia pun meluruskan kedua kakinya, menghadap arah kiblat, lalu kembali kepada Sang Kekasih untuk selama-lamanya. Innâlillâhi wa innâ ilaihi râji al-Ghazali wafat pada 19 Desember 1111 dan dikebumikan di desa Thabran, kota Thus. Proses wafatnya yang tenang, damai, dan indah mencerminkan kualitas kehambaannya selama hidup. Kepergiannya ditangisi para ulama, murid-muridnya, dan jutaan umat Islam. Imam al-Ghazali mewariskan ratusan karya tulis, teladan, dan keilmuan yang tak lekang oleh zaman. Mahbib Khoiron Ulama ini memiliki pengaruh besar dalam sejarah. Harum namanya dan dampak karya-karyanya terasa hingga saat ini. Kaum Muslimin, khususnya yang berhaluan ahlus sunnah wal jama’ah, memandangnya sebagai sang pembela agama Islam Hujjatul Islam. Sosok yang dimaksud adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ath-Thusiy. Imam Ghazali, demikian sapaan akrabnya, menekuni banyak bidang ilmu, terutama filsafat, akhlak, dan tasawuf. Gelar al-Ghazali merujuk pada kota tempatnya dilahirkan, Gazalah, yang berlokasi dekat Tus, Khurasan. Pada abad ke-11, daerah itu termasuk wilayah Kesultanan Seljuk, sedangkan kini menjadi bagian dari negara Iran. Ghazali merupakan putra seorang pemintal wol. Ia lahir pada 1058 Masehi atau 450 Hijriyah. Lingkungan keluarganya termasuk yang taat beragama. Pendidikannya bermula dari mengaji Alquran dengan sang ayah. Setelah bapaknya meninggal, Ghazali kecil dan saudara lelakinya dititipkan kepada sahabat almarhum, yakni Ahmad bin Muhammad ar-Razikani. Mursyid tarekat ini mengajarkan kepadanya ilmu-ilmu fikih dan kesusastraan sufistik. Di samping itu, Ghazali juga menuntut ilmu di madrasah setempat. Setelah lulus, ia merantau ke Jurjan, sebuah kota pusat aktivitas intelektual di kawasan Persia. Dengan tekun, ia mempelajari bahasa Arab dan Persia serta ilmu-ilmu agama. Selanjutnya, pemuda itu memutuskan kembali ke Tus lantaran kurang puas dengan pelajaran yang diperolehnya selama ini. Beberapa tahun kemudian, Ghazali menuju Nishapur untuk menempuh pendidikan di Madrasah Nizamiyah yang saat itu dipimpin seorang ulama aliran Asy'ariah, Imam al-Haramain al-Juwaini. Jaringan madrasah Nizamiyah tersebar di penjuru wilayah Seljuk. Inisiatornya adalah perdana menteri wazir Nizam al-Mulk. Selama di Nishapur, Ghazali muda terus mendalami ilmu-ilmu ushul fikih, mantik, dan kalam. Selama di Nishapur, Ghazali muda terus mendalami ilmu-ilmu ushul fikih, mantik, dan kalam. Kecerdasannya membuat al-Juwaini amat terkesan. Dia pun diperbolehkan mengajar kapan pun ketika kepala Madrasah Nizamiyah tersebut berhalangan hadir. Pada masa ini pula, Ghazali terus mempertajam kemampuannya dalam menulis. Al-Juwaini wafat saat Ghazali ber usia sekitar 27 tahun. Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk memenuhi undangan Nizam al-Mulk di Isfahan. Istana Seljuk di Isfahan merupakan tempat pertemuan elite tidak hanya para pejabat negeri, tetapi juga alim ulama dan cendekiawan terkemuka. Sejak aktif di Isfahan, nama Ghazali kian bersinar. Lantaran mengakui derajat intelektualnya, Nizam al-Mulk pun selalu menerimanya dengan penghormatan. Pada 1090, sang wazir mengangkatnya sebagai guru besar Akademi Nizamiyah di Baghdad. Kedudukan itu membuat Ghazali begitu dihormati di seluruh negeri, padahal usianya belum mencapai 40 tahun. Selama di Kota Seribu Satu Malam, Imam Ghazali menyibukkan diri dengan majelis-majelis ilmu. Ia juga kerap memberikan nasihat kepada kalangan istana, termasuk Nizam al-Mulk. Surat-surat yang berisi petuahnya kepada sang wazir terhimpun dalam karyanya, Nasihat al-Mulk. Salah satu petuahnya adalah, bahwa rasa syukur terbaik yang bisa dipanjatkan seorang penguasa kepada Allah ialah menegakkan kebenaran serta menghapus penindasan di tengah rakyatnya. Rasa syukur terbaik yang bisa dipanjatkan seorang penguasa kepada Allah ialah menegakkan kebenaran serta menghapus penindasan di tengah rakyatnya. Mencari kebenaran Empat tahun lamanya Imam Ghazali memegang jabatan tinggi di Akademi Nizamiyah. Hingga akhirnya, ia pun merenungi perjalanan hidupnya sejauh ini, terutama setelah mempelajari teologi ilmu kalam dari al-Juwaini. Ilmu kalam membahas berbagai aliran yang kadang kala satu sama lain saling berkontradiksi. Ghazali mulai merasa, sudah tiba waktu baginya untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya. Dia meyakini, pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindera tak dapat dipercaya. Sebab, kelima indra itu dapat saja salah. Pada awalnya, Ghazali meletakkan kepercayaan pada pengetahuan yang diperoleh melalui akal, tetapi kemudian hal ini juga tak memuaskannya. Krisis spiritual dan intelektual yang dialaminya itu terekam dalam karyanya, al-Munqidz Mina adh-Dhalal. Selama enam bulan, Ghazali mengalami kegelisahan batin. Dia bimbang, apakah meneruskan posisinya sebagai pengajar atau berhenti. Sebab, ia sudah teranjur skeptis pada keandalan akal rasional dan metode empiris sebagai jalan menuju kebenaran. Satu-satunya pilihan yang baginya terbuka lebar ialah jalan salik, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu yang tercerahkan oleh iman kepada Allah SWT. Baginya, tasawuf telah menghilangkan segala kesangsian dalam diri. Pada 1905, Imam Ghazali meletakkan jabatan di Akademi Nizamiyah. Dia lalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain dengan membawa bekal secukupnya. Kepada keluarganya, dia meninggalkan sejumlah harta yang memadai sebagai nafkah. Rekan-rekannya menganggap, Ghazali akan menunaikan ibadah haji, padahal faktanya lebih dari itu. Dia berupaya menempuh rihlah yang akan memalingkannya dari kekayaan, pangkat, popularitas, dan segala pernak-pernik duniawi. Menulis Ihya Usai musim haji, para petinggi negeri pun terkejut. Sebab, Ghazali tak kunjung pulang ke Baghdad. Raja Seljuk lantas memerintahkan para bawahannya agar segera menelusuri keberadaan penasehatnya itu. Untuk menghilangkan jejak, Ghazali pergi ke Damaskus Suriah lalu Baitul Maqdis. Di kota suci itulah dia mengarang Ihya Ulumuddin sumber lain menyebut, kitab monumental itu ditulis saat pengarangnya tinggal di Masjid Damaskus. Saat mengunjungi makam Nabi Ibrahim AS di Hebron, dia mengucapkan sumpah, tak akan lagi bersedia menjadi pegawai negeri, termasuk mengajar di lembaga-lembaga yang didirikan penguasa. Usai dari Yerusalem, Imam Ghazali berhaji ke Tanah Suci serta mengunjungi makam mulia Rasulullah SAW pada 1096. Setelah itu, dia pergi menuju Tus, daerah tempat kelahirannya. Di sanalah dia kemudian mendirikan halaqah atau majelis ilmu yang diperuntukkan bagi para calon sufi. Pada 1105, penguasa Seljuk, Fakhr al-Mulk mendesaknya agar bersedia mengajar di Madrasah Nizamiyah lagi. Dengan alasan tertentu, dia pun mengalah sehingga kembali ke Nishapur-pusat pemerintahan saat itu-untuk memenuhi permintaan putra Nizam al-Mulk itu. Tugas ini tak lama diembannya. Dirinya pamit dari kota itu untuk kembali membimbing para murid di halaqah yang didirikannya. Ulama yang zuhud dan warak ini menjalani kehidupan sederhana sebagai seorang sufi 10 tahun lamanya. Masyarakat sangat mencintainya sebagai sosok teladan dalam ilmu dan amal. Pada 19 Desember 1111, Imam Ghazali meninggal dunia di Tus dalam usia 53 tahun.

makam imam al ghazali